Kamis, 04 Oktober 2012

Sejarah Bahasa Indonesia

Sejarah Bahasa Indonesia 

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, ia hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia. Kata “Indonesia” berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti “India” dan nesos yang berarti “pulau”. Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India.

Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia”.  

Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.

Meskipun saat ini dipahami oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia tidak menduduki posisi sebagai bahasa ibu bagi mayoritas penduduknya. Sebagian besar warga Indonesia berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Namun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di surat kabar, media elektronika, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Fonologi dan tata bahasa bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.  

Pada mulanya Bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi mengikuti ejaan Belanda, hingga tahun 1972 ketika Ejaan Yang Disempurna- kan (EYD) dicanangkan. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan. Ada empat periode penting dari kontak kebudayaan dengan dunia luar yang meninggalkan jejaknya pada perbendaharaan kata Bahasa Indonesia.
1). Hindu (antara abad ke-6 sampai 15 M) Sejumlah besar kata berasal dari Sansekerta Indo-Eropa. (Contoh: samudra, suami, istri, raja, putra, pura, kepala, mantra, cinta, kaca)
2). Islam (dimulai dari abad ke-13 M) Di periode ini diambillah sejumlah besar kata dari bahasa Arab dan Persia (Contoh: masjid, kalbu, kitab, kursi, doa, khusus, maaf, selamat.
3). Kolonial Pada periode ini ada beberapa bahasa yang diambil, di antaranya adalah dari Portugis (seperti contohnya, gereja, sepatu, sabun, meja, jendela) dan Belanda (contoh: asbak, kantor, polisi, kualitas.
4). Pasca Kolonialisasi (Kemerdekaan dan seterusnya) Pada masa ini banyak kata yang diambil berasal dari bahasa Inggris. (Contoh: konsumen, isyu). Dan lalu ada juga Neo-Sansekerta yaitu neologisme yang didasarkan pada bahasa Sansekerta, (contoh: dasawarsa, lokakarya, tunasusila). Selain itu, bahasa Indonesia juga menyerap perbendaharaan katanya dari bahasa Tionghoa (contoh: pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, loteng, cukong).

Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri

Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri 

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan. Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah tafsir. Permasalahannya adalah masyarakat Indonesia saat ini menggunakan bahasa seringkali tidak pada tempatnya. Setidaknya ada 5 hal yang harus digarisbawahi tentang bagaimana masyarakat Indonesia menggunakan bahasanya. Diantaranya sebagai berikut :
1. Bahasa global yang menggejala
Tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh globalisasi sudah sedemikian hebatnya. Pengaruh tersebut menyentuh berbagai aspek kehidupan mulai dari aspek sosial, budaya, politik sampai bahasa. Tidak adanya batas wilayah baik antar daerah maupun antar negara menyebabkan berbagai pengaruh masuk tanpa bisa dibendung. Contoh sederhananya adalah bagaimana pemuda di kota menggunaka kata “Gue” dan “Loe”sebagai penggati “saya” atau “aku” dan “kamu”. Gejala ini ternyata tidak hanya terjadi di kota besar. Pengaruh ini sampai ke pelosok-pelosok negeri akibat derasnya arus informasi. Selain itu melalui masalah ini pula kita bisa merasakan bahwa kebanyakan bangsa Indonesia tidak menghargai Bahasa Indonesia sebagai salah satu hasil perjuangan putra putri bangsa. Perilaku berbahasa seperti ini dapat menyebabkan Bahasa Indonesia kehilangan identitas. Betul bahwa bahasa Indonesia banyak menyerap kata asing tapi tidak menyerap kata itu dengan mentah-mentah melainkan melalui proses yang benar dan tepat.  

2. Bahasa “Asal Nyambung”
Banyak orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dengan nyeleneh. Alasannya bahasa adalah alat komunikasi jadi tidak perlu dipersulit bagaimana cara menggunakannya. Padahal bahasa lebih dari sekedar alat komunikasi. Jauh dari itu Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Namun kenyataan yang terjadi adalah banyak diantara Mereka menggunakan bahasa Indonesia “asal orang mengerti”. Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bila begitu keadaannya bahwa menggunakan bahasa cukup dengan asal nyambung dianggap sebagai sebuah kebenaran. Lalu untuk apa di buat aturan bahasa baku (bahasa lisan) dan Ejaan Yang Disempurnakan (bahasa tulis). Bukankah itu adalah hal yang mubazir jika tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Saya pikir saat ini sudah saatnya menggunakan bahasa berpedoman pada aturan seperti halnya aturan bahasa baku maupun EYD.  

3. Penggunaan bahasa asing yang tidak tepat
Masalah yang tidak kalah besar yang dihadapi bahasa Indonesia saat ini adalah merebaknya penggunaan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing yang cukup dominan di negeri ini menyebabkan kita bertanya-tanya, apa kekurangan bahasa Indonesia sehingga kita harus menggunakan bahasa asing dengan mentah-mentah. Penggunaan bahasa asing ini bukan hanya pada bahasa tulis seperti yang banyak tertera pada nama-nama mal, perumahan, berbagai merk produk, dan lain sebagainya. Namun juga penggunaan bahasa asing dalam berbahasa lisan. Kita bisa melihat setiap hari ditelevisi banyak tokoh publik menggunakan bahasa asing. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Tokoh publik adalah figur bagi masyarakat yang senantiasa menjadi tiruan masyarakat. Diperlukan kesadaran semua pihak untuk kembali menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa.  

4. Sikap tak acuh dalam berbahasa Indonesia
Dengan sedemikian kencangnya arus perubahan zaman. Pengguna bahasa Indonesia belum sampai pada titik kesadaran menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini ditegaskan lagi oleh pernyataan Franz Magnis Suseno S.J., menurutnya salah satu faktor yang menyebabkan rata-rata orang Indonesia buruk dalam berbahasa Indonesia adalah sifat malas berpikir untuk mencari kata-kata yang tepat dan benar sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia. Keadaan ini menyebabkan bahasa Indonesia mengalami perkembangn yang tidak menggembirakan. Bila sikap ini tidak segera diubah maka bukan tidak mungkin kedepannya bahasa Indonesia akan menjadi bahasa pasaran yang tidak memiliki identitas.  
5. Meluapnya Bahasa Eufisme dan Sarkasme
Satu lagi yang menyebabkan bahasa Indonesia semakin terpuruk adalah banyaknya penggunaan bahasa-bahasa eufisme yang berbau muatan politis dan merebaknya bahasa-bahasa sarkaseme yang membuat citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak bermoral. Para politisi yang menggunakan bahasa eufisme untuk mengalihkan perhatian rakyat pada kenyataan sesungguhnya menyebabkan bangsa Indonesia menjadi karakter bangsa pembohong. Bagaimana tidak ketika bahasa dijadikan jembatan untuk menipu rakyat. Lalu korelasinya dimana. Pemimpin dalam hal ini pemerintah adalah cermin dari karakter bangsa. Jadi setiap tindakan dan perbuatan mereka akan menjadi contoh bagi siapapun yang dipimpinnya. Satu lagi yang amat memperihatinkan adalah bahasa sarkasme, yaitu bahasa-bahasa kasar yang digunakan untuk menghujat orang atau lembaga lain seperti Ungkapan-ungkapan maling, preman politik, biang kerok, Presiden segera dibawa ke Psikiater, Presiden bohong, institusi busuk dan sebagainya muncul di kalangan politisi negeri ini.

Bahasa Indonesia dalam afiliasinya memang dituntut menjadi bahsa yang luwes, dan bisa disesuaikan dengan peradaban yang semakin modern. Bahasa Indonesia juga dituntut mampu menjadi bahasa pendidikan yang mempunyai kriteria nilai tertinggi. Bahasa Indonesia juga dituntut menunjukkan jati dirinya sebagai bahasa yang berkedudukan sebagai bahasa yang resmi. Tapi itu sendiri tidak diikuti oleh peran serta masyarakat bahkan pemerintah dalam menjadikan bahasa ini menjadi bahasa yang global atau diterima oleh khalayak. Penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia rupanya jauh berbeda dengan kamus besar bahasa yang lain. Kategori pembeliannya saja bisa dihitung, hanya peminat atau mahasiswa yang meneruskan jurusannya di sastra dan bahasa Indonesia saja yang membeli atau membacanya, bukankah ini patutnya disorot pemerintah? Adanya balai bahasa pun rupanya manfaatnya masih perlu dioptimalkan.

Mulai dari perannya dalam masyarakat untuk mengajarkan bahasa sendiri yang merupakan jati diri. Bahasa Indonesia itu sendiri memang peringkat ke-15 bahasa yang sulit dipelajari. Bukankah kita seharusnya bangga? Kita mampu menguasai Bahasa Indonesia walau hanya sedikit dan paham sedikit. Layaknya kita dituntun seperti anak ayam, dan kita diajarkan untuk mengerti siapa dan apa yang harus kita lakukan. Layaknya gading, tak ada gading yang tak retak. Mempelajari Bahasa Indonesia membutuhkan pemahaman dan niat dari diri sendiri agar kita mampu untuk membudayakan dan menjadikan bahasa ini lebih dikenal di era global tanpa meninggalkan kebudayaan yang merupakan jati diri sendiri.